Jumat, 26 Januari 2018

JALAN SEPI.
( BAB : MENGUNDANG MODAL ASING.)

Jokowi mengaku belajar dari negara Tiongkok. Di negara yang dulunya komunis dan sangat tertutup dengan negara lain tersebut, Tiongkok membuka lebar keran investasi. Hasilnya, Tiongkok mengalami pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi, yakni 11-12 persen. "Saya bertanya saat ketemu dengan wakil PKC, Partai Komunis China. Pada saat mereka membuka negaranya besar-besaran untuk investasi asing, apakah mereka tidak takut penguasaan ekonomi dikuasai pihak asing? Ini masalah ideologi loh," kata Jokowi di Istana Negara, Jakarta, Selasa (18/11/2014).

"Saya bertanya saat ketemu dengan wakil PKC, Partai Komunis China. Pada saat mereka membuka negaranya besar-besaran untuk investasi asing, apakah mereka tidak takut penguasaan ekonomi dikuasai pihak asing? Ini masalah ideologi loh," kata Jokowi

"Jawabannya saat itu, tidak sama sekali tebersit di otak mereka (Partai Komunis China) bahwa investasi menguasai perekonomiannya karena barang-barangnya ada di negara mereka," ucap Jokowi mengutip jawaban perwakilan dari PKC. Jokowi mengatakan bahwa ia diberikan contoh mengenai pembangunan jalan dan pembangunan pelabuhan yang tidak akan mungkin dibawa lari setelah selesai dibangun. Oleh karena itu, Jokowi memastikan bahwa investasi pihak asing di sektor infrastruktur akan selalu positif bagi kemajuan negara. Pola pikir seperti itu yang harus saya berikan sebagai pengertian. Ini masalah luar biasa, investasi masuk semua ke mereka, dan dalam waktu singkat semua bisa dikerjasamakan," imbuh Jokowi.

Waktu kunjungan ke Pyongyang, saya didampingi oleh teman yang juga pejabat China. Pejabat Korea utara dengan bangganya menceritakan bahwa Korut adalah negara berdaulat dimana semua sumber daya dikuasai oleh negara dan digunakan untuk seluas luasnya bagi kesejahteraan rakyat. Kami menutup diri dari dunia luar. Tidak ada orang asing menguasai SDA seperti di Korea selatan, katanya. Dari kendaraan yang melaju ke Hotel, saya meliat dipinggir jalan orang berjalan dengan wajah tanpa harapan. Nampak miskin dengan senyum dipaksakan sambil membungkuk ketika kendaran dengan plat nomor penguasa melintas.

Usai kunjungan dan kembali ke Beijing ,teman saya meminta kesan saya terhadap Pyongyang. Saya hanya mengatakan singkat bahwa di negeri itu tidak ada peradaban.Teman saya tersenyum. Menurutnya kesalahan terbesar dari Korea Utara adalah menjadikan satu gerombolan berkuasa penuh menentukan apa saja demi tegaknya sebuah kekuasaan termasuk menempatkan seseorang sebagai diktator, untuk itu mereka menggunakan komunisme sebagai Idiologi. China pernah mengalami kesalahan seperti itu ketika era Mao.

Untuk membangun peradaban ada dua prinsip yang harus disadari bahwa pertama, Bumi ini milik Tuhan, katanya. Kita berbeda dan terpecah belah karena adanya paham nasionalisme. Alangkah buruknya bila karena sebuah pemikiran imajiner tentang nasionalisme membuat kita tertutup dari dunia luar. Kemitraan dengan dunia luar itu mutlak. Itu sebabnya di Era Deng Xiao Ping, China membuka diri kepada dunia luar. Saat itulah kita meyakinkan pada diri kita bahwa kita bagian dari dunia luar. Banyak hal yang china miliki tapi juga banyak yang tidak dimiliki. Kemitraan dengan asing adalah saling melengkapi agar setiap bangsa bisa mendapatkan kemakmuran dari keterbatasannya.

Prinsip kedua adalah memastikan pembangunan itu karena adanya emansipasi dari rakyat. Proses pembangunan juga adalah proses emansipasi. Tugas negara menjaga proses emansipasi itu dengan cara yang benar dimana kebaikan diutamakan dan keadilan  tegak. Itu sebabnya China memilih jalan industrialiasasi sebagai visi. Semua sumber daya alam harus diolah di dalam negeri. Tidak semua SDA itu dikelola oleh Negara , ada banyak yang dikelola oleh Private lokal maupun asing namun dipastikan negara berkuasa atas kebijakan bagaimana SDA itu dikelola.

Kebijakan dasarnya adalah memastikan transfer technology terjadi dan distribusi kesempatan meluas. Karenanya pemerintah China membangun infrastruktur ekonomi, jalan, pelabuhan, bandara, dan lain lain agar koneksitas antara wilayah dapat melahirkan sinergi di bidang ekonomi. Dalam perkembangan berikutnya, pemerintah juga tidak melarang bila karena pertumbuhan ekonomi itu, swasta lokal maupun asing ingin mendapatkan keuntungan dari peluang pengadaan sarana umum dengan skema  Public Private Partnership (PPP) seperti Jalan Toll, Kereta Api ekspress, bandara, dll.

Namun negara membatasi konsesi bisnis PPP itu dengan aturan yang jelas dan tegas. Sehingga ada kepastian hukum bagi investor dan juga bagi public yang diwajibkan membayar atas sarana umum itu. Jadi membangun itu bukan masalah apakah harus negara menguasai semua dan mengelolanya kemudian dibagikan kepada rakyat seperti ala sosialis komunis. Bukan pula menyerahkan semua sumber daya kepada dunia usaha seperti ala kapitalis liberalisme. Bukan begitu!. Kita perlu kapitalisme demi terlaksananya emansipasi rakyat membangun  namun kita butuh sosialisme agar negara hadir di setiap ruang itu demi tegaknya keadilan sosial. Jadi ya seperti sosial demokrat.

Apa yang dilakukan oleh china dalam membangun tidak jauh berbeda dengan Malaysia, yaitu visi industrialisasi. Sebagai negara agraris, malaysia mengelola Perkebunan Sawit menerapkan tekhnologi dan padat modal. Hubungan antara petani dengan pengusaha besar, BUMN diatur dalam sinergi yang kokoh. Dari sinergi ini kebijakan Industri  downstream CPO di laksanakan untuk menghasilkan ethyl ester, Fatty acid, dan glycerine. 70% dari CPO ini diolah di dalam negeri dan sisanya di Ekspor. Kebijakan ini mengakibatkan terjadi arus investasi dari dalam dan luar negeri untuk membangun industri yang membutuhkan bahan baku ethyl ester, Fatty acid, dan glycerine, seperti industri pangan (minyak goreng dan margarin), industry sabun (bahan penghasil busa), industri baja (bahan pelumas), industri tekstil, kosmetik, dan sebagai bahan bakar alternatif (biodisel).

Perhatikan, walau lahan Sawit Malaysia hanya 6 juta hektar dan Indonesia 18 juta hektar namun jumlah produksi kelapa sawit yang dihasilkan Malaysia per tahunnya, ternyata hampir dua kali lipat lebih besar dari Indonesia. Malaysia hanya menjual 30% saja dari total produksi CPO nya sementara Indonesia mengeksport 70% lebih CPO nya. Apa yang terjadi ? Ketika harga export CPO jatuh , indonesia meradang nestapa namun Malaysia tetap melaju karena 70% CPO diolah didalam negeri untuk menghasilkan produk bernilai tambah.

Sebetulnya Indonesia mempunyai banyak sekali peluang untuk tumbuhnya industrialisasi. Zaman Soeharto , kekuasaan dikelola dengan cara totaliter dan  semua SDA dikuasai negara. Namun tidak ada keadilan terhadap distribusi barang dan modal. Penguasaan ekonomi lebih kepada kroni penguasa yang bersenggama dengan asing. Industri tumbuh tapi hanya sebagai tukang jahit yang memanfaatkan upah murah. Pihak asing mendapatkan keistimewaan dari negara untuk mengelola SDA namun dieksport tanpa diolah didalam negeri.

Ketika reformasi, kekuasaan dikelola dengan demokratis namun juga tidak ada keadilan distribusi barang dan modal.  Penguasaan ekonomi dikuasai oleh pasar sementara rakyat banyak hanya jadi konsumen yang dijejali barang import. Terjadilah deindustrialiasi.

Saat sekarang itu  diubah oleh Jokowi. Di Forum APEC Dalam investment expose dihadapan CEO APEC, jokowi menawarkan investasi di Indonesia bukan karena pengurasan SDA untuk diangkut keluar tapi diolah didalam negeri dalam visi industrialisasi. Dengan prinsip negara akan leading untuk terjaminnya ketersediaan bahan baku, sumber daya manusia yang berkualitas, dan infrastrutur ekonomi yang meluas. Jokowi belajar dari kebijakan masalalu Indonesia dan juga belajar dari suksesnya negara lain  membangun Industrialisasi, yang bukan hanya mengandalkan SDA tapi juga sumber daya lain untuk unggul dalam kompetisi regional maupun global.

Dalam salah satu seminar investasi ASIA yang diadakan di Beijing , saya sempat bertemu dengan teman yang menjabat executive dari group Investor institusi. Mereka mengatakan bahwa masa depan ada di ASEAN dan itu ada pada Indonesia. Saya sempat terkejut. Karena yang menyampaikan ini adalah investor institusi tentu mereka didukung oleh lembaga riset yang hebat hingga sampai pada kesimpulan seperti itu. Bagaimana dengan Negara lain ? tanya saya.

Menurutnya Negara lain seperti Jepang , Korea, Taiwan tak bisa lagi diharapkan sebagai lahan investasi. Karena kemampuan produksi mereka selama ini tidak punya value apapun setelah China tampil di pasar dunia dengan harga murah. Dalam 20 tahun belakangan ini terbukti negara-negara tersebut justru menjadi beban bagi Negara konsumen seperti Eropa dan AS. Harga produk industry mereka telah bubble hingga pada batas irasional. Telah mengakibatkan inefisiensi nasional bagi AS dan tentu beban ekonomi dalam jangka panjang kalau dukungan kemitraan tetap dipertahankan. Namun memberikan dukungan pasar berkelanjutan kepada China juga tidak bijak. Karena system ekonomi yang berbeda telah mengakibatkan Negara importir dirugikan dari segi mata uang.

Bagi Investor institusi untuk menjadikan potensi pasar dalam negeri China sebagai peluang mengembangkan dana , juga hal yang rumit. Karena regulasi cross border transfer fund yang di tetapkan pemerintah China  telah membuat cost of fund semakin mahal. Maklum saja, bahwa investor tidak bisa bebas memindahkan dananya keluar negeri , yang tidak sama seperti Indonesia dimana investor dimanja akan kebebasan transfer devisa. Vietnam juga bukan hal yang bagus untuk investasi jangka panjang. Karena lemahnya menajement moneter serta system politik yang tidak demokratis adalah salah satu hal yang membuat investor berpikir lebih jauh untuk masuk secara penuh.

Thailand, memang tempat yang  bagus karena produktifitas mereka yang tinggi namun itupun dalam komoditas yang terbatas. Pasar dalam negeri Thailand pun sangat jenuh untuk dikembangkan karena proteksi pemerintah berlebihan melindungi industry dalam negeri. Disamping kekuatan devisa mereka yang renta karena didukung oleh export barang dan jasa yang tak bisa dikembangkan lebih jauh. Malaysia dan Singapore , tak bisa diharapkan terlalu jauh untuk investasi jangka panjang. Karena mereka sudah over capacity. Disamping itu lingkungan strategis mereka sudah tidak exciting lagi karena Indonesia tidak lagi menjadikan Negara mereka sebagai channeling barang ataupun jasa.

Indonesia, temam itu tersenyum dengan mata memancarkan harapan besar. Seakan dihadapannya terbentang rezeki melimpah untuk menyalurkan dana berlebih dan menggandakannya. Baginya Indonesia adalah Negara di ASEAN yang mempunyai kapasitas ekonomi paling besar dan stabil ! Ada tujuh sendi kekuatan atau points of strength yang membuat perekonomian Indonesia terlalu kuat. Pertama, jumlah penduduk yang besar yakni sekitar 240 juta jiwa. Kuantitas sebanyak itu merupakan pasar yang menarik bagi para pelaku usaha.

Kedua, sumber daya alam yang berlimpah di sektor pertanian dan pertambangan. Ketiga, Indonesia memiliki bonus demografi hingga 20-30 tahun ke depan, di mana sekitar 50 persen dari jumlah penduduk adalah kelompok usia produktif, yang akan merupakan engine of economy growth. Kekuatan keempat yang dipunyai Indonesia adalah cadangan devisa yang besar. Dengan kekuatan ini,Indonesia bisa merespons setiap perubahan lingkungan baik eksternal dan internal secara cepat. Dalam hal ini, pemerintah dan Bank Indonesia mempunyai crisis management protocol sebagai tindakan pencegahan krisis.

Kelima, Indonesia memiliki Bank BUMN yang sehat dengan daya tahan yang kuat. Dengan kondisi yang demikian baik, perbankanpun dipandang mampu menghadapi gejolak yang ada. Keenam, Indonesia memiliki kestabilan politik karena didukung oleh sistem politik yang demokratis. Ketujuh, kekuatan ekonomi Indonesia terletak pada capaian peringkat layak investasi dari sejumlah lembaga pemeringkat internasional. Apa yang dikawatirkan? saatnya kerja keras. It is time to change or never.

Ini disadari oleh Jokowi agar mampu mengelola potensi dalam negeri dengan mempersatukan warna partai untuk keadilan social serta smart memanfaatkan peluang international akibat terjadinya  pergeseran geo-economy dunia untuk kejayaan Indonesia. ? Hanya dengan cara itu Indonesia bisa mengeskalasi pertumbuhan ekonominya yang setiap tahun berpacu dengan pertumbuhan angka kelahiran 3,5 juta, 1 juta angkatan kerja baru, harus membayar kesalahan rezim sebelumnya dengan angsuran hutang dan bunga sebesar Rp 154 trilun! setiap tahunnya. Ini bukan kerja mudah seperti mimpi sosialis dimana negara menguasai semua namun akhirnya negara ( elite ) mengambil semua dengan membagi secuil kepada rakyat.
***

Potensi hebat yang dimiliki Indonesia tidak akan menjadi potensi real apabila Indonesia tidak mau membuka diri dan meningkatkan daya saing dari sisi regulasi. sejak tahun 2015, pemerintah Jokowi telah meluncurkan 15 paket kebijakan terkait reformasi struktural. Mencabut lebih dari 3.000 regulasi yang dinilai menghambat proses investasi, baik di tingkat pusat maupun daerah, serta melakukan pemangkasan/penyederhanaan waktu perizinan di berbagai sektor ekonomi. Dampaknya sangat terasa dengan terus meningkatnya modal asing masuk ke Indonesia. Pemerintah mencatat, sepanjang tahun lalu atau hingga 14 Desember 2017, komitmen investasi anyar yang masuk ke Indonesia mencapai US$ 42,6 miliar dengan sejumlah 1.054 proyek. Capaian ini mengalami kenaikan sebesar 23,7% dibanding tahun 2016.

Mengapa ? walau peran negara semakin kuat mengontrol SDA namun pada waktu bersamaan negara juga menjamin kepastian berusaha dan efisiensi.  World Economic Forum merilis laporan The Global Competitiveness Index 2017-2018. Naiknya peringkat Indonesia dari 41 menjadi 36 dari 137 negara disebabkan oleh meningkatnya sejumlah sub-indeks seperti kebutuhan dasar, efisiensi, inovasi, dan kecanggihan. Dengani Indeks competitiveness Indonesia meningkat, itu merupakan indikasi yang tak terbantahkan bahwa kepercayaan global kepada Indonesia semakin baik. Kepercayaan inilah seharusnya terus ditingkatkan agar modal yang masuk bukan karena faktor politik hegemoni tetapi karena benar benar atas dasar business yang saling menguntungkan. Begitulah seharusnya negara di kelola secara modern.

Ya, kita butuh pemimpin yang mengerti kapitalisme namun mempunyai hati sosialis. Bukan soal pilihan apa yang tepat sebagai idiologi tapi siapa pemimpin dibalik idiologi itu. Baik buruknya peradaban tergantung dari akhlak pemimpin yang kita pilih. Semoga Jokowi adalah pilihan yang tepat. Kepada Allah kita berserah diri…

BERSAMBUNG.
Sumber Jalan Sepi. Pre order hubungi Elizar Bandaro Elizar, Uni Ely Bandaro. WA 081212199662

#copas dari DDB

0 comments:

Posting Komentar