Saya berkawan dengan kawan satu ini belum terlalu lama. Saat itu kami bertemu dalam satu kondisi yang mengharuskan kami selalu berinteraksi selama kurang lebih 18 hari. Pertama kali bertemu, saya sudah langsung mengenalinya dari logat bicaranya, ya dia berasal dari Pulau Garam Madura. Sesekali saya menimpali apa yang disampaikannya dengan bahasa Madura, dia sempat kaget kok bisa orang Nganjuk bicara Bahasa Madura 😂😂😂😂 . Mungkin hal ini juga yang membuat kita cepat akrab waktu itu. Waktu itu saya tidak terlalu banyak tahu tentang siapa dia dan apa yang dilakukannya. Kita hanya berkomunikasi tentang hal-hal seperlunya dan tidak pernah bicara agak serius tentang latar belakang masing-masing, hingga di bercerita bahwa ia tinggal di Mataram dan sedang membina sebuah jamaah pengajia. Bagiku ini menarik, sayang cerita ini saya dapat di akhir waktu kebersamaan kami. Akhirnya, saat akan berpisah saya setengah berjanji padanya 🤣🤣🤣, jika suatu saat saya ke Mataram saya ingin mampir ngopi ke rumahnya dan melanjutkan kisahnya. Lalu kami berpisah ....
Selama kami berpisah kurang lebih 6 bulan. Kami tidak pernah berkomunikasi sama-sekali. Hingga minggu lalu bertepatan dengan rencana kepergian saya ke Mataram, ada sebuah WA masuk dari nomor tak dikenal yang isinya menanyakan kabar dan bertanya kapan mau main ke Mataram. Saya penasaran, siapa gerangan yang berkirim WA ini, hingga saya lihat PPnya, seketika saya ingat kalau ini adalah seseorang yang saya temui 6 bulan yang lalu. Saya ingat waktu itu memang kami tidak sempat bertukar nomor sebelum berpisah. Lalu saya jawab WA itu dan saya bilang minggu depan saya mau ngopi di rumahnya sekaligus melanjutkan cerita yang sempat terputus 6 bulan yang lalu. Saya nggak tahu ini sebuah kebetulan atau memang sudah diskenarionakan oleh Sang Pencipta Waktu, tapi seakan-akan semua gathuk-mathuk.
Akhirnya tadi malam saya bertemu dan ngopi di gasebo depan rumahnya. Sesuai janji saya, saya minta ia menceritakan perjalanannya dari Madura hingga bisa tertambat di Mataram. Ia memulai ceritanya, selepas lulus S-1 dari Al Khozini Buduran Sidoarjo, kawan satu ini bercita-cita untuk menjadi PNS Guru Agama. Lalu pergilah ia merantau ke Mataram untuk ikut tes CPNS sebagai guru agama. Ia memilih pergi ke Mataram sambil membantu kakaknya yang sudah lebih dahulu berada di Mataram. Berkali-kali ia mengikuti tes CPNS tidak pernah berhasil. Sampai ia sedikit agak frustasi dan bertanya kepada dirinya sendiri,ada apa dengan dirinya ini sebenarnya. Di tengah kegalauan dan kekalutan seperti ini, ia memutuskan untuk pulang ke Jawa sowan kepada kiainya mohon petunjuk dan doa.
Saat sowan, KIainya berpesan jangan pernah berharap untuk menjadi pegawai, niatkanlah merantaumu itu untuk mengamalkan ilmu yang telah kau dapat di pesantren. Pesan Kiai ini sangat berkesan dan sekaligus menampar dirinya. Akhirnya keinginannya untuk menjadi pegawai ia kubur selamanya, ia berangkat lagi ke Mataram dengan niat baru untuk mengamalkan ilmunya dan semoga bisa membuat pesantren sebagai tempat menularkan ilmunya.
Ia memulai dengan membantu mengajar Al-qur'an di masjid dekat rumahnya. Selama kurang lebih setahun mengajar di masjid itu, santri TPQnya bertambah secara signifikan. Bahkan yang membuatnya tidak nyaman adalah beberapa santri dari TPQ lain mulai berdatangan ke tempat ia mengajar. Kondisi ini menjadi perhatian para wali santri yang ada di sekitar masjid. Akhirnya, ada salah seorang wali santri yang tinggal di komplek perumahan menyampaikan agar ia mengajar ngaji di sana. Sebab di komplek itu banyak Ibu-ibu yang ingin belajar mengaji tapi tidak ada guru ngajinya. Akhirnya selain tetap mengajar di masjid tadi, ia mulai memberikan pengajian di komplek tersebut. Nah dari para jamaahnya inilah permintaan untuk mengaji berdatangan. Permintaan mengaji mulai berdatangan dari majlis taklim, mushola, masjid, Islamic Center dan lainnya. DI saat seperti itu keinginannya untuk mendirikan pesantren semakin kuat. Keinginan itu kemudian sempat dia obrolkan dengan salah satu wali santri yang sering berdiskusi dengannya. Ia mengutarakan bahwa ingin memiliki tanah untuk pengajian tapi di luar kota Mataram agar harganya tidak terlalu mahal. Nah, sekali lagi ini serba kebetulan, wali santri ini malah menawarkan tanah dan bangunan yang barusan dia beli untuk dibeli lagi sama kawan saya ini. Harganyapun relatif murah, dan akhirnya tanah dan bangunan itu terbeli.
Mulailah dimulai babak baru di lokasi ini. Awalnya ia hanya mendirikan TPQ untuk anak-anak warga Madura agar selain sekolah pagi, anak-anak ini tetap mendapat asupan nilai keagamaan dengan sekolah sore di TPQ, atau Madrasah Diniyah. Lambat laun, dari warga sekitar dan anak-anak dari Ibu-ibu jamaah pengajianyapun banyak yang diikutkan sekolah sore di tempat ini. Pengajian rutin bulanan pun diselenggarakan di tempat ini. Majlis zikir dan sholawat juga sering bergema dari tempat ini. Bahkan di sela-sela mengelola lembaga dan jadwal mengajinya yang semakin padat, kawan satu ini juga mulai mengorganisir warga Madura yang ada di Mataram. Hingga terbentuklah ikatan keluarga Madura di Mataram. Semua kegiatan yang ada di lembaga ini tidak berbayar, kawan saya ini tidak pernah meminta bayaran dari kegiatan pengajian, TPQ dan lainnya.
Di tengah ia bercerita, dengan setengah cengengesan saya bertanya, " Tadz, trus maisyah antum bagaimana?". Ia langsung tergelak keras mendengar pertanyaan saya. Ia lalu menjawab, saya tidak punya pekerjaan katanya. Meskipun seringkali terpikir untuk berdagang layaknya orang Madura lainnya. Tapi, kalau saya berdagang maka beberapa jadwal pengajian dan jamaah saya pasti akan terbengkalai, akhirnya saya putuskan untuk tidak berdagang. Apa yang saya lakukan tiap hari hanya mengamalkan ilmu, tidak ada yang lain, seperti dawuh Kiai. Alhamdulilh semua kebutuhan hidup saya dicukupi oleh Allah dan tidak pernah kekurangan, bahkan berlebih. Saya tercekat diam mendengar jawaban itu, jawaban ini keluar bukan dari orang tua yang telah matang usia dan hidupnya, melainkan keluar dari mulut seseorang yang umurnya masih jauh di bawah saya.
Keyakinan yang ia pegang yang didapat dari Dawuh Kiai telah membawanya pada perjalanan hidup yang luar biasa. Bagi kita, atau sayalah yang terbiasa berpikir matematis dan rasional, pengalaman seperti ini mungkin agak sulit dipercaya, namun faktanya ada. Dan hari ini saya menemui sendiri dan mendengarkan langsung cerita tersebut dari pelakunya. Di akhir pertemuan, awalnya saya pingin ia mendoakan saya, eee....ternyata malah sebaliknya, ia yang ingin didoakan agar tetap menjaga niat dan istqomah. Saya hanya nyengir dan langsung berucap Al Patekah selesai ia menyampaikan keinginannya itu...
Salam Tadz, semoga bisa bersua lagi di tempat dimana pertama kali kita berjumpa.😁😁😁😁
Repost via https://www.facebook.com/1068785891/posts/10215646651333857/
0 comments:
Posting Komentar