Senin, 21 Maret 2022

Mengenal Tafsir Linguistik: 

Setelah menjelaskan kepada para mahasiswa prodi Ilmu Al Qur'an dan Tafsir yang menjadi audien dalam acara ini bahwa kajian linguistik terbagi menjadi empat tataran, yaitu tataran fonetik dan fonemik, tataran morfologi, tataran sintaksis serta tataran semantik berikut contoh-contoh kajiannya dalam ulumul Qur'an, Saya menegaskan bahwa kajian linguistik Al Qur'an sangat luas dan butuh waktu yang panjang untuk mengupasnya. 

Ratusan kitab telah ditinggalkan oleh para ulama' untuk menjadi acuan kita dalam menyelami linguistik Al Qur'an yang tidak terbatas. Tapi, untuk sekedar mengenal sisematika penafsiran linguistik yang dilakukan para ulama', bisa disimpulkan garis besarnya sebagai berikut:
1- Menyebutkan makna lafadz secara bahasa tanpa menerangkan analisis linguistiknya.
Contoh: Penafsiran Ibnu Abbas an Naba’ 34: 
وكَأسًا دِهَاقًا
Dihaaq dimaknai mal’an (terisi penuh) tanpa menjelaskan alasannya kenapa dimaknai mal'an. 
 
2- Menyebutkan makna lafadz secara bahasa dengan menjelaskan hujjahnya, baik dengan syair: Seperti penafsiran Ibnu Abbas an Naziat 14:
فإِذَا هُمْ بالسَّاهِرَة
As Saahirah dimaknai al Ardh (bumi) dengan dasar syair Umayyah bin Abi Sholt:
عِنْدَنا صيْدُ بَحْرٍ وصَيْدُ ساهِرَةٍ

Ataupun dengan natsar: seperti penafsiran Ibnu Abbas an Najm 61: 
وأنتُمْ سَامِدُوْنَ
Saamidun dimaknai bernyanyi, dengan alasan:
كانوا إذا سمِعُوا القرآن تغَنّوا ولَعِبوا، وَهي لغة أهل اليمن، قال اليماني: اسمُدْ

3- Menyebutkan makna lafadh secara bahasa dengan menjelaskan derivasinya dan mengaitkannya dengan konteks ayatnya. seperti penafsiran Ibnu Faaris dalam Mu’jam Maqaayis Lughah, an Naziat 10.
يقولون أءِِنّا لَمردودونَ في الحَافرةِ
Al Haafirah dimaknai kebangkitan setelah mati, bumi dan neraka. Ibnu Faris berkata: 
حَفَر: الحاء والفاء والراء، أصلانِ: أحدُهُما حفر الشيءَ، وهوَ قَلَعَهُ سفْلا، والآخَر أوّل الأمر. 

4- Menyebutkan makna lafadz dengan memperhatikan konteksnya dalam setiap ayat Al Qur’an yang memuatnya, metode ini dikenal dengan wujuh wa an nadhair, dipelopori oleh Muqotil bin Sulaiman.

Tentang kebolehan menggunakan tafsir Linguistik sebagai hujjah, para ulama' memerincikannya sebagai berikut:
1- Diterima, jika sesuai dengan pendapat para sahabat dan tabiin. Standar sahabat dan tabiin ini dipakai karena mereka dianggap lebih tahu asbabun nuzul, kondisi dan situasi bangsa Arab, sehingga diasumsikan lebih tahu, apakah makna yang dipakai adalah makna syar'i, makna urfi atau makna lughowi. 

2- Ditolak, jika bertentangan dengan pendapat sahabat dan tabiin.
Contoh: tafsir Abu Ubaidah dalam Majazul Qur’an.
{وَأَعْتَدَتْ لَهُنَّ مُتَّكَأً}[يوسف: 31]، متكئا، أي نُمْرُقا تتكئ عليه، وزعم قوم أنه الأُتْرُجُّ، وهذا أبطل باطل في الأرض ولكن عسى أنْ يكون مع المتكاء أتْرج يأكلونه، ويقال: ألق له متكئا.
Padahal al Utrujj (jeruk sukade) adalah tafsir yang dipilih oleh mufassir salaf untuk kata muttaka’.

3- Boleh digunakan, jika tafsir para linguis sekedar menambahkan pemahaman yang bersifat variatif.
Contoh: tafsir Sibawaih dalam Mu’jam al Ain.
والعَرْفُ: ريحٌ طيّبٌ، تقول: ما أطْيَبَ عَرْفَهُ، قال الله عز وجل: {عَرَّفَها لَهُمْ}[محمد: 6]، أي: طيّبها. 
Tafsir ini boleh digunakan meskipun tafsir yang datang dari mufassir salaf adalah bayyana (menjelaskan), karena tafsir Sibawaih tidak menafikan tafsir mereka, bahkan menambah pemahamannya. 

4- Diterima, jika para mufassir salaf (sahabat dan tabiin) belum pernah membahasnya.
Contoh: tafsir al Farra’ dalam Maanil Qur’an.
{لَنْ نُؤْثِرَكَ عَلى مَا جاءَنا مِنَ الْبَيِّناتِ وَالَّذِي فَطَرَنا}[طه: 72]، 
Kata والذي bisa berkedudukan sebagai ma'thuf juga bisa menjadi sumpah. 
فالَّذِي فِي موضع خفض، أيْ وَعَلَى الَّذِي. ولوْ أرادوا بقولهم (وَالَّذِي فَطَرَنا) القَسَمَ بها، كانت خفضًا وَكَانَ صوابًا، كأنَّهم قالوا: لن نؤثرك وَاللهِ.

Tafsir Linguistik juga berpeluang meyimpang jika mengabaikan makna syar’i, asbab nuzul dan atau penafsiran sahabat dan tabiin.
Ada beberapa jenis penyimpangan dalam tafsir Linguistik:
1- Penyimpangan Ringan, Contoh: 
- Tafsir Abu Ubaidah, QS Yusuf: 49, (يَعْصِرُوْن) dimaknai selamat (يَنْجُوْنَ) dari kata “al ‘ushrah”, “al ashr” yang bermakna manjaah (selamat).
- Tafsir Muarrij As Saduusi, QS al Baqoroh: 57, (السَلْوَى) dimaknai madu (العَسَل) dari bahasa Arab Kinanah.

2- Penyimpangan Berat, Contoh:
- Tafsir sebagian muktazilah, QS an Nisa’: 164, (كَلَّمَ) bermakna melukai dari kata “al kalm”, yakni Allah melukai Musa dengan cengkeraman cobaan dan ujian. 
- Tafsir QS Thoha: 121, (فَغَوَى) dimaknai bosan, dari kalimat Arab (غَوي الفَصِيْلُ) jika kebanyakan minum susu dan bosan. 

3- Penyimpangan Modern, Contoh: 
- Tafsir QS an Naziat: 30, (دَحَاها) dimaknai menjadikan bumi berbentuk bulat seperti telur, dengan dalih bahwa tempat telur angsa dalam bahasa Arab disebut (الأُدْحِيَة).
- Tafsir QS Ali Imron: 14, (النِّسَاء) dimaknai mode yang ngetren, dipahami dari kata nasa’a yang bermakna mengakhirkan, dan (البَنِيْنَ) dimaknai bangunan, dari kata “banana” yang bermakna menetapi dan menempati. 

----- 
Surabaya, 20 Maret 2022

Moderator acara ini Khobirul Amru M.Th.I, adalah salah satu santri alumni pesantren Darul Ulum yang sudah menghatamkan hafalan Al Qur'an dan menekuni kajian Al Qur'an, dan sudah diangkat menjadi salah satu dosen di prodi Ilmu Al Qur'an dan Tafsir, Fakultas Ushuluddin, UINSA Surabaya. 
اللهم اجعل القرآن ربيع قلوبنا - آمين -

0 comments:

Posting Komentar