Sabtu, 23 Maret 2019

MENTERI AGAMA DAN PERHIASAN BERLIAN MILIARAN RUPIAH YANG DIKEMBALIKAN PADA KPK

Sejak politisi muda Romahurmuzy dan dua aparat Kementerian Agama ditangkap KPK Jumat (15/3/19) lalu, entah sudah berapa orang menghubungi saya, mulai dari berbagai daerah di Indonesia sampai mukimin di Makkah, Saudi Arabia. Sebagian besar mengontak saya via Whatsapp, beberapa lainnya menelepon saya langsung. Intinya mereka ingin segera tahu apakah Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin terlibat, langsung atau tidak langsung, dalam dugaan pat-gulipat distribusi jabatan di Kemenag.

Setelah KPK menyebarkan informasi bahwa mereka menemukan uang sejumlah Rp 180 juta plus 30.000 dolar AS di ruang kerja Lukman, pesan WA di HP saya lebih membanjir. Orang yang tak menghubungi saya dua tahun lalu saja tiba-tiba berkirim tanya. Ada yang benada prihatin dan sedih, ada yang cuma kepo, ada juga yang sinis – misalnya dengan mengirim ikon ejekan tertentu. Tapi, semuanya saya tanggapi positif lewat sebuah copy paste pendek: ‘’Setahu saya Menag bersih, tidak main uang kotor. Itu kan bisa uang apa saja, mungkin honor-honor yang dikumpulkan, dana taktis, atau dana apa saja. Kita tunggu saja penyelidikan KPK.’’


Saya sendiri tidak tahu mengapa mereka menghubungi saya, padahal saya bukan staf ahli atau staf khusus Menag yang lebih tahu banyak tentang Kemenag. Saya cuma seorang dosen sekaligus kawan lama. Kebetulan kami sering bertemu Sabtu atau Minggu pagi di Ragunan  untuk lari pagi bersama sambil sekali-sekali melihat kunyuk bergelantungan, binturong tidur, atau kuda nil berendam. Setelah itu biasanya kami minum teh hangat dan sarapan bareng, ngobrol dari Barat ke Timur, lalu pulang.

Tak terasa, pernah kami ngobrol tiga jam di warung pecel pinggir jalan usai lari pagi. Itu terjadi di hari libur nasional. Di hari Sabtu, jika Lukman punya acara keluarga, kami biasanya hanya ngobrol maksimal 1,5 jam. Obrolan kami lebih banyak didominasi kisah-kisah masa lalu yang tak bosan-bosan kami ulang, terutama semasa kami satu kelas di Gontor sampai masa kuliah kami di perguruan tinggi terpisah.  Dari semua obrolan kami tentang masa lalu itu, kami bersepakat dalam satu bingkai: kami sangat bersyukur pada Allah SWT bahwa di saat kami menjalani masa belia pembentukan jatidiri, kami digembleng dalam satu payung Gontor yang punya motto membanggakan: Berbudi tinggi, berbadan sehat, berpengetahuan luas, berpikiran bebas.

Kami bertekad menjadikan shalat kami berdampak pada kemanusiaan, itulah budi tinggi. Kami selalu berusha olahraga, itulah badan sehat yang kami syukuri. Kami sama pernah belajar sampai ke luar negeri, itulah cara meraih pengetahuan luas yang didoktrinkan kepada kami. Kami berpikiran bebas, itulah yang membuat hidup kami dinamis, itulah elan vital kami, itulah yang Allah ajarkan kepada kami tentang Nabi Ibrahim AS yang mencari Wajah Allah sampai titik terjauh galaksi – orang haus ilmu biasanya toleran dengan setiap ilmu yang datang kepadanya, dia merasa kebebasannya dibatasi oleh ilmu orang lain; sementara orang yang menutup diri biasanya otoriter, merasa ilmu di kepalanya paling benar, selangkah lagi dia menuhankan pikirannya ...

Di antara obrolan itu tentu ada hal lain yang kami bahas, yang saya sendiri jengah untuk menceritakannya ke ruang publik. Ini sebenarnya hanya menjadi rahasia antara saya, Lukman Hakim Saifuddin dan Allah SWT yang maha mendengar semua obrolan kami. Tapi, sejak KPK mempertontonkan uang yang mereka temukan di ruang kerja menteri agama padahal Menag bukan tersangka, saya sebagai mantan wartawan dan sekarang mengajar ilmu jurnalistik di kampus merasa KPK telah membiarkan tontonan itu sebagai sarana ’trial by press’ alias pengadilan lewat media massa – orang di seluruh Indonesia bahkan di seluruh dunia yang menonton adegan itu lewat media massa dibiarkan secara liar menjadi  hakim-hakim yang memvonis menteri agama dengan tafsir sendiri-sendiri di kepala!

Saya setuju KPK dibentuk dan bekerja untuk menangkap maling-maling uang rakyat agar negeri ini penuh berkah Allah SWT. Tapi saya tak setuju KPK bersikap otoriter pada siapa pun, bahkan kepada seorang tersangka sekalipun, apalagi jika seseorang di mata hukum belum jadi tersangka alias masih jadi saksi. KPK bukan majelis pengadilan, polisi bukan majelis pengadilan, jaksa bukan majelis pengadilan, pengacara bukan majelis pengadilan, dan orang-orang yang kebetulan berprofesi menjadi hakim pun bukanlah majelis sidang pengadilan.

Hanya sebuah majelis sidang, sekali lagi hanya SEBUAH MAJELIS SIDANG, yang berhak menentukan orang di negeri ini bersalah atau tidak!

Karena tak semua rakyat di negeri ini adalah sarjana hukum atau mau mempelajari sedikit ilmu hukum, menurut saya terlalu berbahaya ‘trial by press’ yang dilakukan KPK. Atas dasar inilah cerita ini saya tulis di ruang publik. Saya hanya berniat memberikan pembelajaran publik.  Toh di majelis sidang pengadilan majelis hakim tak hanya mendengarkan tuntutan jaksa tapi juga mendengarkan saksi-saksi yang memberatkan atau meringankan. Di tengah pengadilan raksasa atas menteri agama lewat publikasi duit yang ditemukan KPK, saya ingin memberi kesaksikan. Namanya saksi, ia bisa meringankan, bisa juga memberatkan. Itu terserah Anda sebagai majelis hakim di pengadilan terbuka.

Suatu ketika di tahun 2017, usai menteri agama mengembalikan sejumlah perhiasan berupa tiga cincin berlian, satu jam tangan berlapis emas, satu pulpen berlapis emas, dan satu kalung tasbih berlian yang semuanya ditaksir  sekitar Rp 5 miliar dari Raja Salman,  saya bengong. Bukan apa-apa, ketika banyak orang berusaha memperkaya diri sendiri dengan merampok uang rakyat diam-diam, kok Lukman malah mengembalikan perhiasan miliaran itu? Jika pada akhirnya dikembalikan, mengapa dulu diterima? Mengapa tidak dijual lalu uangnya diserahkan kepada Allah saja lewat tangan-tangan orang miskin, pengemis dan gembel di jalan, seperti yang dilakukan Robin Hood?

Sabtu pagi, usai lari pagi, pertanyaan berat ini saya sampaikan pada Lukman. Saya sebut ‘’berat’’ karena memang berat mengembalikan intan berlian bernilai miliaran rupiah. Tak diduga, seperti biasa dia hanya tertawa. ‘’Begini bro,’’ katanya secara khas memulai cerita. Lalu berceritalah ia bahwa ada saja orang yang memberi map kepada ajudannya dan ketika map itu dibuka di kantor, ternyata isinya duit. Dari siapa saja duit itu dan kapan diberikan, Lukman kepada saya mengaku sama sekali lupa karena dia sendiri merasa tak menerima dan tak membolehkan uang semacam itu diberikan kepadanya.

‘’Ana sama sekali lupa siapa yang memberinya kepada bawahan ana, kapan, atau di mana. Ana pasti tak ingat. Pokoknya ana hanya membuat peraruan pada anak buah ana, jika ada uang-uang seperti itu dilaporkan kepada ana, pasti ana kumpulkan dan tidak ana pakai sendiri.''

Di kantor, ajudan atau siapa pun yang menerima amplop seperti itu segera melaporkan apa yang mereka bawa. Ajudan tentu awalnya tak tahu map itu berisi uang atau surat-surat kedinasan lain. Sekali, dua kali, lima kali, 100 x dan begitu seterusnya, sangat mungkin jika map itu berisi uang jumlahnya jadi miliaran. Dikumpulkan bersama gratifikasi dan uang syubhat lain dari para bawahannya yang Lukman mengaku lupa jumlahnya, berikut kalung senilai Rp 5 miliar dari raja Arab tadi, gratifikasi itu ditenteng Lukman ke KPK. Inilah yang membuat Kementerian Agama di bawah kepemimpinan Lukman Hakim Saifuddin pada 12 Desember 2017 menerima penghargaan ‘’Kementerian dengan Sistem Pengendalian Gratifikasi Terbaik’’  dari KPK.

Berdasarkan cerita ini, saya tak ingin mengatakan bahwa uang temuan KPK di ruang kerja Menag Sabtu lalu itu bisa saja sejenis uang ‘’beginian’’ yang nantinya ia kembalikan ke KPK juga. Atau uang operasional lain. Tidak, saya tidak mau mengatakan itu karena saya memang tidak tahu. Saya hanya ingin bertanya, jika Anda jadi menteri agama, akankah perhiasan berlian yang menggiurkan serta kumpulan gratifikasi  yang tak mudah dilacak oleh KPK itu Anda kembalikan?

Ini cerita lain:

Suatu ketika, tanah dan rumah satu keluarga yatim yang ingin membagi harta waris diikutkan dalam sebuah tender oleh tim tender Kemenag. Usai memenangkan tender, tanah keluarga ini tak kunjung dibeli oleh Kemenag. Kuasa hukum keluarga yatim itu akan membawa kasus ini ke pengadilan, toh kliennya sudah memenangkan tender. Daripada mereka ribut-ribut di pengadilan, mengapa tidak saya beriahu Menag saja soal ini?

Saat saya beritahu kasus ini, dari rumahnya di luar jam kantor, Lukman detik itu juga menelepon pajabat tinggi yang menangani tender ini. Suara handphone dia perkeras supaya saya mendengar langsung  obrolan yang terjadi dan bahwa itu bukan rekayasa. Dari obrolan itulah saya jadi tahu, Lukman sebagai menteri ternyata benar-benar tidak tahu apa-apa soal tender!

‘’Jadi, antum tidak tidak tahu-menahu soal tender ini?’’

‘’Tidaklah. Itu kan kewenangan dan kerja teknis pengguna anggaran? Sesuai arahan KPK yang ana pernah tanya mereka, ana tak akan dipersalahkan jika ana tak terlibat kerja teknis kayak gitu, dan  itu sepenuhnya jadi tanggung jawab mereka jika misalnya ada kesalahan.’’

‘’Tapi kan antum menteri? Masa tidak tahu apa dilakukan anak buah?’’

‘’Keputusan yang mereka buat tentu ana tahu karena di akhir mereka kan nanti lapor ke ana dan mungkin juga ada yang harus ana tanda tangani di antara keputusan mereka. Tapi, prosesnya yang sangat teknis mana ana tahu, misalnya proses itu bersih atau tidak bersih, atau apalah namanya selama proses teknis itu berlangsung. Bisa habis waktu ana buat ngurusin yang teknis kayak gitu,’’ jawab Lukman. 

Setelah itu, kami ngobrol sampai agak malam berdua saja di rumahnya. Di akhir obrolan menjelang saya pamit, Lukman seolah membaca uneg-uneg di kepala saya. Lalu dia katakan: ‘’Antum harus tahu, gaji ana tak sampai Rp 20 juta. Rumah ana gak mewah-mewah amat, antum bisa lihat sendiri. Selain gaji, honorarium-honorarium memang ana terima, itu pun tak semuanya masuk ke kantong ana. Kalau ana mau korupsi, mau kaya-raya sendiri, ana ambil saja 10 persen dari total harga tanah yang antum laporkan ini. Itu baru satu tender, nah ada berapa tender di kementerian ana yang besarnya kayak gitu bahkan ada yang lebih besar lagi?’’  -- supaya Anda tahu, harga tanah itu Rp 13 miliar!

Cerita ini terjadi jauh sebelum Rommy ditangkap KPK, jauh sebelum KPK menemukan uang di ruang kerja menteri agama. Ketika KPK membawa uang yang ‘’cuma’’ ratusan juta dari ruang kerja Menag, saya jadi bertanya bukankan perhiasan bernilai miliaran rupiah pernah dibawa oleh Lukman dengan sukarela kepada mereka? 

Jumat pagi ini tiba-tiba saya amat sangat rindu Gurun Mahsyar ...

Repost dari :
https://www.facebook.com/helmi.hidayat

0 comments:

Posting Komentar