Selasa, 28 Februari 2017

Pemerintah Indonesia dan DPR beberapa hari terakhir sibuk menyambut kedatangan Raja Salman bin Abdul Azis Al Saud, Raja Arab Saudi. Rencananya, Raja Arab tersebut akan berinvestasi ke Indonesia 25 Miliar Dollar atau sekitar Rp 300 Triliun. Benarkah Raja Salman akan berinvestasi ke Indonesia sebanyak itu?

Faizal Assegaf pengamat timur tengah meragukan komitmen yang akan diwujudkan raja Arab tersebut. Karena, sejauh ini pemerintah Arab sendiri sedang mengalami defisit.

"Kalau menurut saya itu sekedar harapan, kenyataannya meragukan. Arab Saudi itu sudah mengalami defisit sejak harga minyak mentah global melorot dari pertengahan 2014. Bahkan, Januari tahun kemarin (2016) harga minyak itu dibawah 30 dollar per barel. Itu harga terendah," ujar Faizal saat dihubungi suarasurabaya.net, Selasa (28/2/2017)

Menurut perkiraan IMF, kata dia, Arab Saudi itu dan negara-negara Teluk penghasil minyak lainnya itu sudah mulai defisit. Khusus untuk Arab Saudi sendiri diperkirakan defisitnya itu mulai 2015 sampai 2020.

2015 itu diperkirakan defisitnya mencapai 100 Miliar Dillar. Sedangkan tahun lalu yaitu 2016, defisitnya mencapai 87 Miliar Dollar. 

"Nah karena melihat itu, pangeran Muhammad Bin Salman Wakil Putra Mahkota yang juga punya jabatan sebagai Kepala Dewan Ekonomi dan Pembangunan Arab Saudi akhirnya mengeluarkan kebijakan liberalisasi ekonomi yaitu dengan nama visi 2030. Satu diantara visi itu adalah bagaimana menggerakkan sektor swasta, karena pemerintah mulai nggak punya duit. Selama ini seluruh pembangunan dipegang pemerintah," kata dia.

Terbukti, kata Faizal, saat ini banyak perusahaan-perusahaan konstruksi yang telat dibayar pemerintah Arab Saudi, termasuk Saudi Bin ladin Group. Makanya perusahaan ini sempat memberhentikan pekerjanya sekitar 70 ribu.

"Karena mengalami defisit, maka pemerintah Saudi juga mendorong warganya untuk bekerja di sektor swasta, karena selama ini warga Saudi mengandalkan sebagai pegawai negeri karena gaji besar dan di subsidi," kata Faizal.

Kata dia, akibat liberalisasi, Saudi mulai mengurangi subsidi, diantaranya energi, sehingga harganya sekarang mengikuti harga pasar, meskipun masih dengan harga terendah. Selain itu, Saudi juga mencabut subsidi listrik maupun air. 

Disamping itu, menurut Faizal, sesama negara Teluk lainnya seperti Kuwait, Uni Emirat Arab, Qatar, Bahrain dan Oman itu mulai tahun depan atau Januari 2018 akan seragam memberlakukan Pajak Pertambahan Nilai sebesar 5 persen.

"Inti dari visi 2030 Saudi itu adalah mereka menginginkan Saudi Aramco perusahaan minyak terbesarnya, bahkan terbesar di dunia akan melepas sahamnya 5 persen atau minimal 2 Triliun Dollar, bakal menjadi IPO terbesar sepanjang sejarah," ujar dia.

Dan satu lagi, kata dia, Saudi juga menaikkan biaya Visa untuk haji dan umroh serta kunjungan menjadi 2 ribu Real. 

"Jadi dengan visi 2030, Saudi mulai mencari sumber pendapatan diluar minyak, karena mereka tahu kalau minyak sudah susah untuk naik dan cadangannya lama-lama akan habis," kata dia.

"Jadi harapan pemerintah Indonesia untuk mendapatkan investasi 25 Miliar Dollar atau sekitar Rp 300 Triliun itu ya masih patut diragukan. Apalagi itu baru omongan Pramono Anung menteri sekretaris kabinet, belum kelihatan dari komitmen," kata Faizal.

Selain itu, menurut dia, kalau berkaca dari pengalaman Mesir, Saudi tidak melaksanakan komitmennya, yaitu menghentikan pengiriman pasokan minyak yang dijanjikan waktu kunjungan Raja Salman ke Kairo bulan April 2016. Saat itu Saudi menjanjikan membantu krisis BBM Mesir, tapi kemudian Nopember 2016 tiba-tiba menghentikan tanpa alasan yang jelas. 

"Jadi ya jangan terlalu percaya diri dulu kalau Saudi akan menggelontorkan Rp 300 Triliun untuk investasi di Indonesia," ujarnya.

Menengok komitmen sebelumnya yaitu 20 tahun lalu, Saudi juga pernah berjanji akan investasi untuk kilang minyak di Cilacap sebesar 6 Miliar Dollar, tetapi sampai sekarang juga belum terlaksana. 

"Persoalan Saudi akan investasi di proyek infrastruktur, saya juga tidak terlalu yakin dan dipertanyakan. Karena biasanya. Orang-orang Arab yang kaya itu akan investasi di Eropa dan Amerika. Itupun di sektor yang terbatas, seperti properti dan keuangan. Jadi mereka ingin investasi yang cepat memperoleh keuntungannya, bukan yang lama dengan risiko yang besar pula. Kalau infrastruktur kan lama," pungkas Faizal.(faz/rst)

Re-post dari suarasurabaya.net

0 comments:

Posting Komentar